02 March 2009

Bugis - Makassar

Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata ‘Makassar’? Sebagian besar mungkin akan menjawab; BUSER, PATROLI, tawuran mahasiswa, perkelahian antar-kampung, kasar, kriminal, dan yang sejenisnya. Sebagian lain mungkin akan menjawab; PSM, Pantai Losari, Kapal Phinisi, Sultan Hasanuddin, dan ikon-ikon lain yang dimiliki daerah ini. Dan sangat diragukan akan ada yang menjawab; keberanian, keuletan perantau, ketinggian budaya maritim, atau mungkin prinsip untuk tidak membiarkan kesalahan merajalela.

Apapun pendapat anda, mungkin itulah gambaran subyektif yang jujur tentang sebuah daerah yang dulu punya sejarah manis tentang peradaban. Tidak dapat dipungkiri, citra Makassar (baca; Sulawesi Selatan) di masa sekarang ini sangat tidak dapat dibanggakan. Kalau meminjam idiom di Makassar sendiri, katanya orang Makassar itu pa’bambangang na tolo (cepat marah dan tolol; tidak menggunakan otak). Fakta di lapangan juga mendukung idiom lawas ini. Hampir tiap hari ada liputan tentang Makassar di berita kriminal TV swasta kita. Tapi, benarkah sejarah mengatakan hal yang sama? Apakah fenomena ini memang telah menjadi karakter orang Makassar? Semoga uraian berikut dapat sedikit memberi gambaran.

Kalau kita ingat-ingat lagi pelajaran sejarah waktu sekolah dulu, ada beberapa penggalan yang akan cukup membantu kita. Kita pasti ingat Sultan Hasanuddin yang dulu gigih menentang intervensi Belanda atas sistem perdagangan di tanah Sulawesi. Juga pemberontakan Kahar Muzakkar dan Andi Azis kepada pemerintahan Soekarno karena menganggap Soekarno lebih memperhatikan mantan KNIL daripada milisi rakyat. Ada juga Jenderal M. Yusuf yang membawa rahasia Supersemar sampai ajal karena beliau tidak ingin membahayakan persatuan bangsa. Tentang kebudayaan, mungkin kita tahu Perahu Phinisi yang legendaris dan mampu mencapai Madagaskar dan Eropa sana. Perkampungan Bugis-Makassar juga bisa ditemukan di hampir tiap pesisir Nusantara dan sekitarnya.

Seorang pakar kebudayaan Sulawesi Selatan berkebangsaan Perancis, Christian Pelras[1], mengatakan bahwa masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat, serta pedagang sukses yang paling siap menghadapi perubahan yang cepat. Ini dimungkinkan dengan keberadaan beberapa ciri dalam tradisi mereka yang biasanya dianggap sebagai bentuk spesifik modernitas. Ciri itu antara lain: (1) melek huruf, orang Bugis selalu memperlihatkan kecintaan mereka pada tradisi, yang tidak saja dipelihara lewat tradisi lisan, tapi juga tercatat, mungkin sejak abad ke-14, dalam berjilid-jilid naskah tulisan tangan (lontara), yang disimpan banyak keluarga di hampir seluruh desa-desa orang Bugis di Sulawesi Selatan; (2) ekonomi berorientasi pertukaran, mungkin sejak nenek moyang mereka di abad-abad awal milenium pertama. Kita bisa berspekulasi kalau kemakmuran hasil perdagangan inilah yang melahirkan peradaban awal Bugis; (3) individualisme, mobilitas sosial dimungkinkan seseorang, dalam kondisi tertentu, disamakan dengan orang dari lapisan yang lebih tinggi, misalnya melalui prestasi individual sebagai orang berani (to-warani), orang kaya (to-sugi), orang pintar atau bijaksana (to-macca), orang yang religius (to-panrita). Karakter individualisme inilah yang mengarahkan mereka menjadi keras dan ulet, serta mendorong untuk memperbaiki kehidupan melalui tradisi merantau. Ciri-ciri ini juga mendorong mereka untuk selalu mengembangkan kebudayaan. Perahu Phinisi adalah hanya salah satu tonggak sejarah dari perkembangan teknologi pelayaran mereka yang panjang. Sebelumnya ada perahu Lambo, perahu bercadik, dan lain-lain. Mereka juga punya naskah I Lagaligo yang memuat perjalanan kebudayaan kerajaan-kerajaan di wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar-Gowa maupun hubungan dengan kerajaan lain di Nusantara dan luar Nusantara. Hal ini mencatat Bugis-Makassar sebagai satu dari sedikit kebudayaan maritim yang mempunyai aksara sendiri. Karakter lain yang timbul sebagai akibat dari karakter terdahulu adalah sikap feodalisme dan harga diri yang kuat dipertahankan.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam masa Orde Baru, terjadi pergeseran yang cukup memiriskan. Metode pembangunan sentralistik yang dipaksakan oleh Soeharto dan jajarannya telah mengebiri banyak hal baik di masyarakat Bugis-Makassar. Pada masa itu, perdagangan dipusatkan ke pelabuhan-pelabuhan di tanah Jawa sehingga pelabuhan Makassar tidak lagi menjadi pilihan. Komoditas pertanianpun ditentukan oleh pusat. Pengebirian ini berlangsung begitu lama sehingga sangat terasa dampaknya. Dampak yang paling terasa adalah berkembangnya jiwa pemberontak dan chauvinisme yang semakin mengakar. Pengganyangan etnis Cina pada tahun 1998 dan pencetusan Republik Sulawesi Merdeka pada tahun 1999 adalah contoh yang paling nyata dalam kasus ini.

Panasnya iklim dan kerasnya kehidupan pada masa Orde Baru dan setelahnya semakin menguatkan karakter ‘keras’ pada masyarakat dan kemudian menjurus kasar. Sifat individualisme, dengan empat ciri diatas, yang tetap menjadi salah satu parameter keberhasilan seseorang di masyarakat, menjadikan persaingan hidup semakin keras. Hal ini menyentuh hampir semua golongan masyarakat, tidak terkecuali mahasiswa. Perguruan Tinggi sebagai lembaga persiapan untuk memasuki kehidupan nyata pun didesain keras dan kasar. Ospek, sebuah ritual memasuki dunia kampus, tidak lepas dari skenario ini. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana tawuran mahasiswa menjadi sebuah bagian tidak terpisahkan dalam ritual Ospek mahasiswa di kampus-kampus Sulawesi Selatan.

Bila kita lihat lebih dalam, tawuran ini sebenarnya adalah salah satu metode yang diterapkan untuk menguatkan identitas kelompok masing-masing. Di kampus Mesin, kita menguatkan identitas dengan metode yang hampir sama; mencari musuh. Bedanya adalah, para SC kita mencari musuh bagi mahasiswa baru di kalangan mahasiswa baru sendiri dengan cara menekan habis-habisan sehingga sifat oportunis muncul. Implementasinya adalah di Camp, dengan cara yang sama namun suasana berbeda, kemudian dilanjutkan dengan koordinasi mengadakan kegiatan setelah Camp. Di Unhas dan kampus-kampus lain di Makassar, mereka juga menekan dan memunculkan sifat oportunis itu, tapi tujuannya adalah lebih kepada menimbulkan jiwa pemberontak pada apapun yang akan menekan mereka nantinya. Analoginya adalah sama dengan menahan air di bendungan agar bila saatnya nanti air dilepaskan bersamaan akan mempunyai daya yang lebih kuat. Implementasinya adalah dengan mencari musuh diluar komunitas mereka. Biasanya salah satu mahasiswa baru disuruh memukul mahasiswa fakultas lain (arogansi mereka adalah arogansi fakultas). Pada saat ini, air yang telah terkumpul di bendungan kemudian dilepaskan tiba-tiba sehingga muncullah tawuran itu. Hal ini, bila mereka menang, sekaligus merupakan pembuktian yang rill atas doktrin bahwa kelompok mereka adalah yang terbaik. Kalaupun kalah, mereka akan membalas kelompok yang mengalahkan itu untuk membuktikan superioritas mereka. Metode ini juga pernah diterapkan di ITS oleh Jurusan Teknik Mesin dan Teknik Elektro, tapi kemudian berhasil direduksi melalui pendekatan intelektual dan opini publik yang mencela hal ini.

Jadi, jelaslah bahwa setiap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah gambaran perjalanan yang telah dilalui masyarakat tersebut, tidak terkecuali Bugis-Makassar. Apa yang terjadi di masyarakat Bugis-Makassar saat ini merupakan salah satu tonggak sejarah yang akan menentukan arah perkembangan kebudayaan mereka selanjutnya.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari perjalanan kebudayaan mereka antara lain;

* Sebuah karakter sosial-kolektif merupakan hasil dari perjalanan kebudayaan yang panjang dari sebuah kebudayaan kelompok.
* Sebaiknya kita jangan terlalu cepat menghakimi sebuah kelompok dengan identitas tertentu, karena hal itu bisa saja berubah nantinya, seperti juga Arek Mesin yang tidak lagi keras seperti dulu. Karakter sebuah kelompok dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga bisa berubah menjadi sama sekali lain dari sebelumnya. Kalau mau merubah karakter Arek Mesin, yakinlah hal itu bisa dilakukan.
* Sebuah hasil kebudayaan, misalnya Kapal Phinisi, Baju Khas Daerah, dan kebiasaan-kebiasaan kelompok, hanyalah merupakan hasil pemikiran dan bukan sesuatu yang terlalu sakral untuk bisa dirubah. Kalau hal tersebut memang pantas dirubah karena tidak lagi sesuai, jangan segan untuk merubahnya. Kalau sebuah kebudayaan memang mencerminkan pornografi dan pornoaksi, hal itu harus dirubah.

Sumber : http://kalajengkingair.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment